SANKSI HUKUM ADMINISTRASI
Sanksi Hukum Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge, ”sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi” . Menurut P de Haan dkk, ”dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis” . JJ. Oosternbrink berpendapat ”sanksi administrasiinistratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah–warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri”.
Jenis
Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu sanksi
reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk memngembalikan pada kondisi
semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang,
dwangsom), sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan
hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif,
sedangkan Sanksi Regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi
atas ketidak patuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan
yang diterbitkan,
Perbedaan
Sanksi Administrasi dan sanksi Pidana adalah, jika Sanksi Administrasi
ditujukan pada perbuatan, sifat repatoir-condemnatoir, prosedurnya
dilakukan secara langsung oleh pejabat Tata Usaha Negara tanpa melalui
peradilan.
Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada si pelaku, sifat condemnatoir, harus melalui proses peradilan.
Macam-macam Sanksi dalam Hukum Administrasi seperti berikut, Bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Macam-macam Sanksi dalam Hukum Administrasi seperti berikut, Bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
A. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang)
Paksaan
pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ pemerintah
atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan,
menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah
dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Contoh Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa ijin yang Berhak atau Kuasanya. Bestuursdwang merupakan
Kewenangan Bebas, artinya pemerintah diberi kebebasan untuk
mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan
bestuursdwang atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi yang lainnya.
Paksaan
pemerintahan harus memperhatikan ketentuan Hukum yang berlaku baik
Hukum tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas pemerintahan yang
layak seperti asas kecermatan, asas keseimbangan, asas kepastian hukum
dan lain-lain.. Contoh Pelanggaran yang tidak bersifat substansial
seorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman, tanpa IMB.
Pemerintah
tidak sepatutnya langsung menggunakan paksaan pemerintahan, dengan
membongkar rumah tersebut, karena masih dapat dilakukan legalisasi,
dengan cara memerintahkan kepada pemilik rumah untuk mengurus IMB. Jika
perintah mengurus IMB tidak dilaksanakan maka pemerintah dapat
menerapkan bestuursdwang, yaitu pembongkaran.
Contoh Pelanggaran yang bersifat substansial, misalkan pada pengusaha yang membangun industri di daerah pemukiman penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan RTRW yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dapat langsung menerapkan bestuursdwang.
Contoh Pelanggaran yang bersifat substansial, misalkan pada pengusaha yang membangun industri di daerah pemukiman penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan RTRW yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dapat langsung menerapkan bestuursdwang.
Peringatan
yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan
bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu peringatan tertulis,
yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan Tata Usaha Negara.
Isi
peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut,
Peringatan harus definitif, Organ yang berwenang harus disebut,
Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat, Ketentuan yang
dilanggar jelas, Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas,
Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban jelas dan seimbang,
Pemberian beban tanpa syarat, Beban mengandung pemberian alasannya,
Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya.
B. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan
Penarikan
kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilakukan dengan
mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau
menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu.
Ini
diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau
syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah
diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan
dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.
Penarikan
kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam
HAN terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea
causa, yaitu bahwa pada asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar menurut hukum. Oleh
karena itu, Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan itu pada
dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh
hakim di pengadilan.
Kaidah
HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara
yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan
Tata Usaha Negara sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya.
Sebab-sebab
Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai Sanksi ini terjadi
melingkupi jika, yang berkepentingan tidak mematuhi
pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran.
Jika yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat
izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian
tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara
benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan misalnya penolakan
izin.
C. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)
N.E.
Algra, mempunyai pendapat tentang pengenaan uang paksa ini, menurutnya,
bahwa uang paksa sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan
syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan,
tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan,
dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan
pembayaran bunga.
Menurut
hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada
seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan
yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan
paksaan pemerintahan
D. Pengenaan Denda Administrasiinistratif
Pendapat
P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan
denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa
yang ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan
norma, denda administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti.
Dalam
pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas
hukum administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Sumber : http://www.edipranoto.com/2011/05/sanksi-hukum-administrasi.html
Silahkan coment yang sopan ....